Senin, 15 Mei 2023

LAGU JAI DARI KABUPATEN NGADA


 

TEKE MELO (Tarian Adat) NAGEKEO



RUMAH ADAT FLORES YANG WAJIB ANDA KUNJUNGI

 RUMAH ADAT MBARU NIANG, WAE REBO

Sumber: arsitur.com

Desa adat Wae rebo merupakan kampung adat tradisional yang berlokasi di Kampung Wae rebo, Gunung Pocoroko, Kabupaten Manggarai, Flores, Provinsi NTT. Dusun Wae rebo ini lebih dikenal sebagai salah satu destinasi wisata karena karakteristik local yang menarik dengan dikelilingi oleh pegunungan dan hutan hujan tropis . rumah adat Wae rebo ini juga disebut sebagai Rumah Mbaru Niang yang merupakan budaya asli warga Wae rebo yang sudah dibangun oeh para nenek moyang mereka Bernama Empo Maro yang berasal dari Minangkabau, Sumatera. Empo Maro mencerminkan Wae rebo oleh sebuah Bahasa local, “Neka hemong kuni agu kalo” yang berarti “Wae rebo adalah tanah kelahiran, warisan, dan tanah air yang tidak akan pernah terlupakan”. Hal itu dapat ditunjukkan melalui warga desa wae rebo yang lebih memilih untuk tinggal di kampung mereka di pedalaman dantetap setia melestarikan kebudayaan mereka.

Pada area Desa Wae Rebo terdapat 7 Rumah Mbaru Niang yang disusun melingkar dan melingkari batu melingkar (Compang)  yang menjadi pusatnya.  Compang juga merupakan sebuah altar bagi warga desa Wae rebo untuk memuji dan menyembah Tuhan serta roh roh nenek moyang. Jumlah 7 rumah sendiri memiliki arti penghormatan para nenek moyang mereka terhadap 7 arah mata angin dari puncak gunung yang berada di sekeliling kampung wae rebo, hal ini dipercaya sebagai cara untuk menyembah roh roh yang memberikan mereka kesejahteraan. Ketujuh rumah tersebut pun memiliki nama yang berbeda beda , diantaranya :

  1. Niang Gendang
  2. Niang Gena Mandok
  3. Niang Gena Jekong (dibangun kembali pada tahun 2010)
  4. Niang Gena Ndorom (dibangun kembali pada tahun 2009)
  5. Niang Gena Keto
  6. Niang Gena Jintam
  7. Niang Gena Maro

Source BINUS UNIVERSITY


kampung adat bena kabupaten ngada

Pulau Flores tidak hanya memiliki Desa Wae Rebo yang menjadi objek wisata dunia tetapi terdapat juga satu desa yang bernama kampung tradisional Bena. Mengunjungi kampung Bena rasanya akan seperti kembali ke sejarah masa lalu di zaman megalitikum melalu mesin waktu. Kenapa hal demikian bisa terasa ? karena kamu akan melihat bentuk rumah adat yang sederhana dan kehidupan di dalamnya yang jauh dari sentuhan teknologi saat ini.

Foto udara kampung Bena Bajawa Flores, sumber ig @canayatour

1. Luas dan Lokasi Kampung Bena

Kampung Bena memiliki panjang sekitar 375 meter dan lebar sekitar 80 meter. Secara administratif kampung Bena terletak di kabupaten Ngada, propinsi Nusa Tenggara Timur tepatnya di desa Tiworiwu, kecematan Jerebuu. Sekitar 12,4 km atau 25 menit menggunakan kendaraan roda empat dari Bajawa Ibu Kota Kabupaten Ngada.

2. Keunikan Kampung Bena

Terletak di kaki gunung Inerie, membuat kampung adat yang satu ini tidak hanya menawarkan keunikan bentuk perkampungan rumah dan tradisinya, tapi juga pemandangan gunung Inerie yang mempesona dan memanjakan mata setiap wisatawan. Kampung ini memiliki lebih dari 45 buah rumah tradisional dengan batu megalitik besar yang saling berhadap-hadapan, bentuk kampungnya memanjang dari utara ke selatan dan terlihat seperti perahu.

3. Warisan Tentatif UNESCO

Sejak tahun 1995 Pemerintah Indonesia telah mendaftarkan kampung Bena ke UNESCO untuk dijadikan sebagai Situs Warisan Budaya Dunia dan statusnya masih dalam daftar tentatif (sementara) UNESCO hingga saat ini.

4. Penduduk dan Tradisi Kampung

Mata pencaharian utama penduduk kampung Bena Bajawa ini yakni berladang bagi kaum laki-laki dan menenun bagi kaum perempuan, dimana hasil menenun dijual ke para wisatawan atau ke kota Bajawa. Penduduk kampung Bena masih meyakini keberadaan Yeta (dewa yang bersingga di gunung Inerie) yang melindungi kampung Bena. Penduduk Bena termasuk ke dalam Suku Bajawa dengan mayoritas penduduknya menganut Agama Katolik.

Di kampung ini pada awalnya hanya ada satu klan (sekelompok orang yang dipersatukan oleh perasaan adanya hubungan kekerabatan atau seketurunan, baik aktual maupun tidak) yakni klan Bena tetapi sekarang ditambah 8 klan yang lain yakni Dizi, Dizi Azi, Wahtu, Deru Lalulewa, Deru Solamae, Ngada, Khopa dan Ago. Pernikahan dengan suku lain melahirkan klan-klan baru yang sekarang ini membentuk keseluruhan penduduk kampung adat Bena.

Semoga informasi yang kami berikan diatas menambah pengatahuan bagi anda dan meningkatkan keinginan anda untuk berwisata ke kampung tradisional Bena. Jangan lupa, kampung adat Bena ini hanyalah salah satu dari sekian banyak wisata di Labuan Bajo. 

Baca juga Kampung Adat Bena, Desa Wisata Yang Mirip Zaman Batu

KAMPUNG ADAT WOLOGAI KABUPATEN ENDE

Kampung adat Wologai di Ende (Foto: doc. Arka Dewa)

Jika berkunjung ke Kabupaten Ende, jangan lupakan menyempatkan diri datang ke Kampung Adat Wologai.  Kampung yang terletak di ketinggian sekitar 1.045 mdpl merupakan salah satu kampung adat tersisa yang masih ada di Flores. Diperkirakan usianya sudah sekitar 800 tahun.

Wologai terletak sekitar 37 kilometer arah timur kota Ende, di Kecamatan Detusoko yang dapat ditempuh dengan kendaraan umum maupun mobil sewaan dengan harga sekitar 300 ribu rupiah selama sehari.

Di bagian depan sebelah kanan pintu masuk kampung terdapat sebuah pohon beringin yang diyakini komunitas adat Wologai ditanam oleh leluhur mereka, yang sekaligus konon setara dengan waktu pendirian kampung adat ini.

Satu hal unik dari Wologai adalah arsitektur bangunannya yang berbentuk kerucut. Rumah-rumah dibangun melingkar dan ada tiga tingkatan dimana setiap tingkatannya disusun bebatuan ceper di atas tanah yang sekelilingnya dibangun rumah-rumah. Semakin ke atas, pelataran semakin sempit menyerupai kerucut.

Deretan rumah panggung di kampung ini dibangun melingkar mengitari Tubu Kanga, sebuah pelataran yang paling tinggi yang biasa dipakai sebagai tempat digelarnya ritual adat. Batu ceper yang terdapat di tengah digunakan serupa altar untuk meletakan persembahan bagi leluhur dan sang pencipta.

Rumah panggung ini dibuat dari kayu yang diletakan di atas 16 batu ceper yang disusun tegak untuk dijadikan tiang dasar penopang bangunan ini. Bangunan dengan panjang sekitar 7 meter dengan lebar sekitar 5 meter ini memiliki atap berbentuk kerucut yang dibuat dari alang-alang atau ijuk. Tinggi banguan rumah sekitar 4 meter sementara atapnya sekitar 3 meter.


Baca jugaWologai, Kampung Adat Keren yang Telah Berusia 800 Tahun


KAMPUNG ADAT TUTUBHADA KABUPATEN NAGEKEO

Kampung Tutubhada adalah sebuah kampung adat yang berada di Desa Rendhu Tutubhada, Kecamatan Aesesa Selatan, Kabupaten Nagekeo, NTT.

Letak kampung adat Tutubhada ini yakni berada di sebelah barat daya dari pusat pemerintahan Kabupaten Nagekeo yakni Kota Mbay.


Foto : IG @nttadventure

Jarak yang bisa ditempuh dari ibu kota kabupaten sekitar 12,5 kilo meter yang memakan waktu tempuh perjalanan selama 20 menit dengan kendaraan roda dua atau roda empat.

Kampung Adat Tutubhada berdiri diatas lahan seluas kurang lebih 200 x 25 meter persegi dengan penataan kampung berbentuk persegi panjang. Bangunan rumah berjejer dipinggir dan menghadap ke tengah. Kampung ini membentang dari utara ke selatan dengan rumah utama berdiri di sisi utara. Didepannya terdapat makam leluhur yakni Jogo Sela dan Amerae. Pengelolaannya sendiri dilakukan langsung oleh masyarakat adat setempat.

sebagian besar rumah adat yang biasa di sebut masyarakat daerah yaitu Rumah Adat Soa Waja ji Vao dibangun menggunakan bahan kayu dan bambu, kemudian atapnya terbuat dari bahan ilalang kering

Beberapa benda pusaka masih tersimpan dengan baik disini seperti meriam, senapan, dan tombak dan Kamukeo. Selain benda bersejarah tersebut, kampung ini juga mewariskan atraksi budaya yang sangat unik yaitu Tinju Adat atau biasa disebut ‘Etu’. Dan terdapat beberapa perayaan adat yaitu tandak, potong gigi, masak nasi bambu semua Kegiatan ini masih rutin dilakukan sampai saat ini dan biasanya diselenggarakan setahun sekali.

Terdapat tradisi menenun di Tutubhada yang dilakukan oleh para perempuan. Hasil tenunan yang berupa syal dengan motif adat setempat menjadi buah tangan favorit wisatawan ketika berkunjung kesini. Para penenun tergabung dalam sebuah kelompok. Hasil tenunan kelompok mereka dibantu pemasarannya oleh Badan Usaha Milik Desa sebagai upaya pengembangan potensi Kampung Tutubhada.

Berdasarkan cerita warga setempat yang merupakan cerita turun temurun, nama Tutubhada sendiri berasal dari dua suku kata yakni Tutu yang bermakna ‘Dada’ dan Bhada yang artinya ‘Kerbau’. Alkisah, dalam sebuah pengembaraan, terjadi pertemuan antara Ebu Jogo Sela (Mosalaki) dan orang Gowa yang berasal dari Sulawesi Selatan didekat area kampung saat ini. Dari perbincangan mereka, Ebu Jogo Sela disarankan untuk membangun area tersebut karena dianggap strategis. Jadilah mereka berdua saling membantu membangun kampung secara bersama. Sembari membangun, tempat ini juga dijadikan sebagai peternakan kerbau oleh Ebu Jogo Sela. Ketika beberapa kerbau main dikubangan, tampak salah satu induk yang sangat besar sampai dada kerbau tersebut menyentuh tanah. Ebu Jogo Sela terkesan dan menamai kampung yang dibangunnya bersama orang dari Gowa tersebut dari apa yang dilihatnya yakni Tutubhada.

Pulau Flores memiliki keunikan luarbiasa yang selalu membuat kita terkesan dan takjub. Terkhusus Kabupaten Nagekeo Butuh banyak waktu untuk bisa menjelajahi Flores lebih   jauhBanyak sekali hal menarik yang memberi kita pelajaran berharga.


Baca juga : Melihat Kampung Adat Tutubhada Di NTT

Mengenal Lebih Dalam tentang Sejarah dan Kebudayaan Suku Flores, NTT



Flores Punya Budaya. Mungkin masih banyak yang belum mengetahui sejarah dan kebudayaan suku Flores yang berada di Nusa Tenggara Timur (NTT). Pulau Flores sendiri berada di gugusan Kepulauan Sunda Kecil.


Bersama dengan NTB dan Bali dengan luas wilayahnya sekitar 14.300 km2. Flores adalah wilayah yang identik dengan kebudayaan Portugis karena memang menurut catatan sejarahnya pernah menjadi daerah jajahan koloni Portugis.

Sistem Kepercayaan Suku Flores

Hingga saat ini, masyarakat Flores masih mempertahankan budaya untuk mendirikan dan memelihara bangunan luhur untuk pemujaan arwah para leluhur sebagai bentuk penghormatan.

Tradisi ini memang sudah ada sejak 2500 – 3000 tahun yang lalu. Meskipun begitu, sekarang sudah banyak penduduknya yang menganut ajaran agama yang lebih modern seperti Kristen Katolik, Islam dan lainnya.

Masyarakat suku Flores juga masih menganut tradisi megalitik dimana masih mempertahankan upacara doa dan mantra sebagai media untuk mengekspresikan simbol-simbol secara fisik dalam kebersamaan.

Tradisi ini muncul dan berkembang di Flores yang tampak dari sisa-sisa peninggalan seperti rancangan rumah adat serta monumen pemujaan arwah leluhur. Termasuk juga seni ragam hiasnya.

Sejarah dan kebudayaan suku Flores juga masih terasa dari tradisi upacara pemujaan dalam berbagai acara atau hajatan di Flores. Hal tersebut meliputi prosesi doa mantra, pakaian yang dikenakan, pelaku seni, seni suara hingga tarian serta perlengkapan upacara yang dibutuhkan.

Bahkan upacara untuk mata pencaharian pun masih terus dibudayakan di tanah Flores seperti upacara pembukaan lahan, penebaran benih, masa panen, berburuan, pengolahan logam dan masih banyak lainnya.

dikutip dari : 

https://www.floresidn.com/2019/05/mengenal-lebih-dalam-tentang-sejarah.html

LAGU JAI DARI KABUPATEN NGADA